Buku tebal bersampul cokelat kemerahan
itu membuat otak ku berpikir lebih keras, lagi dan lagi. Memikirkan kebenaran
selama 400 tahun di masa lampau. Apa dan bagaimana, mengapa dan benarkah, siapa
dan nyatakah?
Sebuah catatan kecil terselip manis di ujung tepinya, bertuliskan “Aku
dan 400 tahun yang lalu, ingin melihatnya kembali, nyatakah dia?” Di sudut
kanan bawahnya tergores coretan tebal dan tidak teratur dari si peminjamnya
terdahulu. Coretan dari tinta merah bercampur biru, yang akhirnya membentuk
warna ungu pekat.
Perpustakaan semakin sepi. Sunyi dan damai layak seperti perpustakaan
pada umumnya, tidak bising. Raja bintang makin turun dan biasan cahaya jingga
di langit mengukir warna indah pada awan. Ku lirik jendela, gerimis masih belum
bosan membasahi tanah. Dan pikiranku, masih tenggelam dalam buku itu.
Buku yang menyisakan indeks dan glosarium, serta tiga lembar kosong
untuk catatan si pembaca. Namun, setengah lebar halaman kosongnya tertulis rapi
dengan tinta merah yang diselingi dengan tinta biru, dan di pertegas lagi
dengan tinta emas di setiap ujungnya. Hingga akhirnya, sebuah puisi terbentuk
dari rangkaian kata penuh makna.
Sungguh nekat ia melakukannya. Aku tidak tahu siapa dia. Namun,
tulisannya membuat akalku berputar dan naluriku teruji.
“Kau tidak akan pernah tahu jika kau tidak kembali ke masa itu, bukan?”
tulisnya sebelum menuliskan judul puisinya. “Aku juga” sambungnya lagi.
KAU PERCAYA?
Mungkin
memang begitu
Diajarkan
begitu
Tidakkah
begitu
Dulu,
sangat dulu sekali
Yang
kulit putih
Pengukir
masa lalu
Melampaui
sekutunya
Menjamah
kita?
Lalu,
mengapa kau izinkan?
Sebodoh
itu, kah?
Sejatinya
400 tahun
Kami
bukan mainan, bahkan hingga saat ini!
Ku baca puisi
itu berulang – ulang, sekali lagi, dan terus sampai aku mengerti maksudnya.
Mungkin hingga sampai batas pikir normal ku, mencoba mendalami dan menyelami
pesan tersirat yang ia sampaikan. Sangat ambigu. Aku tidak tahu apa yang ia
maksudkan.
Aku menutup
buku setebal 873 halaman tersebut. Hingga cover
depannya terpampang manis di hadapanku.
“Menguak Sejarah Indonesia”
Aku terdiam
sejenak. Tak sampai semenit, senyumku mulai meradang. Kini aku mengerti
maksudnya.
Naluri
negeri. Selama 400 tahun, dimulai dari tahun 1500-an, Indonesiaku bukan
milikku. Bahkan hingga saat ini, anak bangsanya seperti anak tirinya.
Masa emaskah
saat Bung Karno berteriak merdeka di tahun ’45? Jika iya, maka akan butuh 400
tahun lagi sejak kita merdeka untuk generasi emas berikutnya. Tahun 2345.
Aku mengerti
maksud puisinya. Ia kecewa dengan kendali dari orang asing. Dia benci orang
asing. Dia menginginkan Indonesianya sendiri, tanpa membuang nilai emas
luhurnya terdahulu.
Di akhir
puisinya, ia tuliskan satu kata penuh makna dengan garis huruf tebal dan goresan
yang tegas. “SADAR”